Penculikan anak di Makassar untuk dijual ginjalnya, mengapa tawaran jual-beli organ tubuh manusia masih beredar di media sosial?
Seorang bocah 11 tahun di Makassar, Sulawesi Selatan, diculik dan dibunuh dua remaja, karena mereka tergiur uang Rp1,2 miliar dari tawaran jual-beli ginjal di media sosial.
Kepolisian Indonesia mengatakan kasus ini tidak terkait jaringan jual-beli organ tubuh, tapi BBC News Indonesia menemukan penawaran dan permintaan ginjal dengan imbalan uang masih beredar di media sosial.
Seorang ahli kesehatan masyarakat menyebut, tawar menawar ginjal di media sosial bisa berpotensi menjadi pintu masuk sindikat perdagangan orang.
Sementara Ikatan Dokter Indonesia, mengatakan sanksi berlapis bagi tenaga kesehatan yang terlibat operasi transplantasi ilegal.
Pada Jumat (13/01), Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) mengatakan telah memblokir sebanyak tujuh laman jual-beli organ tubuh menindaklanjuti permintaan Polri.
Akhir dari Artikel-artikel yang direkomendasikan
Laman itu diblokir dengan dasar UU nomor 19 tahun 2016 pasal 40 (2a) dan (2b) tentang Informasi dan Transaksi Elektronik memastikan ketiganya tidak lagi dapat diakses oleh masyarakat luas.
Dasar hukum lainnya yang menguatkan penutupan akses ke situs-situs tersebut ialah UndangUndang nomor 36 tahun 2009 tentang Kesehatan pasal 192 jo Pasal 64 ayat (3) membahas mengenai pelanggaran terkait penjualan organ tubuh manusia.
Karmin masih belum bisa beranjak dari makam anaknya, Muh. Fadil Sadewa, 11 tahun. Di makam yang masih basah dengan taburan bunga segar di atasnya, Karmin terus mengelus nisan anak keduanya itu, sambil mengenang pujaan hati.
“Dewa istilahnya memang jiwa-jiwa pekerja keras, tidak menyusahkan orang tua dan tidak pernah mengeluh dalam kondisi apapun walau berat bagaimanapun pekerjaan,” jelas Karmin yang tahun ini berusia 33 tahun.
Selama hidup, Dewa lebih sering bersama neneknya, Aminah Dg Bau. “Dia bilang mau jadi tentara,” kenang Aminah di rumahnya.
Muh. Fadil Sadewa, ditemukan tewas di kolong jembatan Jalan Inspeksi Pam Timur, Waduk Nipa-Nipa, Kecamatan Moncongloe, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Selasa (10/1).
Belakangan diketahui, bocah kelas 5 SD ini diculik dan dibunuh oleh dua remaja, berinsial A (17 tahun) dan F (14 tahun). Keduanya didorong tawaran penjualan ginjal dengan harga tinggi di media sosial.
Bagaimana kronologi kejadian ini?
Kakek Dewa, Jamaluddin Dg Tappa, bercerita kejadian ini dimulai Minggu sore (8/1).
Waktu itu, ada seorang pengendara motor menawari cucunya untuk membersihkan rumah dengan imbalan uang Rp50.000. Tetapi sampai malam hari, Dewa belum juga pulang ke rumah.
“Sebelum Magrib diambil, dibonceng. Setelah Isya datang di sini sepupu satu kalinya bilang nenek-nenek belum datang Dewa? Ada orang bonceng dia. Jadi saya pencarian sampai pagi,” katanya.
Dari situ, Jamaluddin bersama warga datang ke lokasi terakhir cucunya itu terlihat untuk membuka kamera CCTV, Senin (9/1). Sehingga ketahuan siapa pelaku yang menjemput.
“Besoknya dibuka CCTV biar tahu cara-caranya diambil, cara-caranya naik motor. Hari Senin-nya itu kan kita bikin foto [orang hilang] terus disebarkan. Kebetulan ada anak sekolah ambil, jadi ketahuan siapa yang ambil,” jelasnya.
Pelaku yang sudah ketahuan langsung dijemput dan dibawa ke rumah keluarga Dewa untuk ditanyai lebih lanjut.
“Sampai di sini, di depan. Saya tanya kau yang bonceng cucuku di sana? Dia bilang iya, saya tapi kusimpan di kanal. Saya bawa ke kantor polisi, karena sudah banyak orang nanti dipukuli,” terang Jamaluddin.
Sementara satu pelaku lagi, kata dia, sempat datang ke rumah. Pelaku bahkan sempat meminta foto-foto Fadil untuk berpura-pura membantu melakukan pencarian.
“F datang, mari sini itu foto-fotonya Dewa. Saya pergi cari. Padahal dia [F] pelakunya, datang ke sini seolah-olah bukan dia yang melakukan. Jadi kita kasih [foto-fotonya],” katanya.
Tergiur uang Rp1,2 miliar
Saat ini kedua remaja sudah ditahan polisi.
Kasi Humas Polrestabes Makassar, Kompol Lando S.K, mengatakan pelaku membunuh Dewa karena tergiur penjualan organ ginjal lewat konten di media sosial. Nilai yang ditawarkan, kata Lando mencapai Rp1,2 miliar dalam bentuk mata uang asing.
“Menurut pelaku bahwa dia organ tubuh ada yang diharga satu orang itu kan sampai US$80.000 dan itu terpengaruh ekonomi. Kalau ada hasil penjualan membantu perekonomian orang tua membangun rumah, dari pengakuan [pelaku] ya,” kata Lando.
Berdasarkan pemeriksaan korban, Lando memastikan tidak ada bagian organ tubuh yang hilang. Ia menyimpulkan, “tidak ada jaringan organ tubuh di Makassar dan tidak pernah ada penjualan organ tubuh.”
“Ini tidak ada, cuma bohong-bohongan aja gitu kan, terpengaruh dengan akun palsu yang belum tentu bisa dipertanggungjawabkan,” katanya.
Tapi apakah kepolisian akan begitu saja percaya dengan keterangan pelaku? Sejauh mana polisi curiga atas alasan itu demi menutupi jaringan perdagangan organ tubuh yang sebenarnya?
“Itu adalah bagian dalam penyelidikan untuk memastikan. Jangan sampai kita terpengaruh,” jelas Lando.
Tawaran jual-beli organ tubuh di media sosial
Kendati kepolisian di Makassar menyimpulkan tidak ada jaringan penjualan organ tubuh di wilayahnya, tapi penawaran jual-beli ginjal bisa ditemukan di media sosial.
BBC Indonesia menemukan sejumlah grup publik di Facebook yang secara terang-terangan menunjukkan tawaran untuk menjual atau membeli ginjal.
Grup bernama “Forum Donor Ginjal Indonesia” yang memiliki 733 anggota terdapat diskusi menjual atau membeli ginjal. Tawarannya lengkap dengan golongan darah, sampai nomor kontak yang bisa dihubungi.
Kemudian, grup “Donor Ginjal Luar Negeri” dengan 277 anggota lebih aktif, dengan menampilkan postingan diskusi tawaran setiap hari.
Selain itu, grup serupa juga terdapat di platform Telegram.
BBC News Indonesia menghubungi sejumlah orang yang menawarkan untuk menjual ginjalnya. Dan mereka umumnya menjawab singkat, sedang “butuh uang”.
Ketua Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat, Ede Surya Darmawan, menilai keberadaan grup atau diskusi mengenai jual-beli organ tubuh manusia di media sosial akan menjadi pintu masuk jaringan perdagangan orang. Kasus penculikan dan pembunuhan anak di Makassar merupakan pertanda.
“Orang tergiur, apalagi misalnya kalau di media sosial ada yang mencari donor ginjal… Jadi di situ potensial orang ada kebutuhan, ada potensi untuk dapat uang secara singkat dengan enggak benar,” katanya.
Penawaran ini bukan hanya harus dihentikan polisi atau kementerian komunikasi dan informatika (Kominfo), tapi ditindaklanjuti dengan mengungkap sindikatnya.
“Kalau dunia nyatanya kan selalu ada pasar gelap atau bisnis di bawah tangan yang barangkali juga bisa kejadian di mana-mana… Nah yang perlu diselidiki itu adalah proses selanjutnya,” kata Ede kepada BBC News Indonesia.
Indonesia melarang jual-beli organ tubuh manusia seperti diatur dalam Undang Undang Kesehatan maupun KUHP, “Organ dan/atau jaringan tubuh dilarang diperjualbelikan dengan dalih apapun”.
Setiap orang yang terlibat dalam transaksi ini terancam hukuman paling lama 10 tahun penjara dan denda Rp1 miliar. Lalu, mereka yang menjadi makelar dalam hal ini bisa dijerat delik pidana perdagangan orang.
Modus sindikat perdagangan ginjal
Kasus perdagangan organ tubuh manusia di Indonesia bukan barang baru. Pada 2016, kepolisian mengungkap jaringan perdagangan ginjal di Bandung, Jawa Barat. Peristiwa ini melibatkan 30 korban yang menjual ginjalnya dengan dengan harga antara Rp75 juta - Rp90 juta.
Sindikat ini dipimpin oleh HKS, yang memiliki dua kaki tangan berinisial DS dan YP. Kedua ajudan ini sebelumnya juga menjual salah satu ginjalnya kepada HKS.
DS dan YP bertugas mencari orang dari perkampungan yang hendak menjual ginjalnya untuk dihubungkan dengan HKS. Operasi transplantasi dilakukan di RSCM Jakarta.
Setiap satu transaksi DS dan YP memperoleh komisi antara Rp10 juta - Rp15 juta. Sementara bos mereka, HKS sudah memperoleh keuntungan Rp1 miliar dari perdagangan ginjal ini terhitung sejak 2012 - 2015.
Berdasarkan putusan pengadilan, DS dan YP pada 2016 divonis lima tahun dan enam bulan penjara. Mereka terjerat delik tindak pidana perdagangan orang.
Lalu, jaringan perdagangan ginjal terakhir yang terungkap melibatkan AS, DFM, AJ, dan AS pada 2019 silam.
Berbeda dari jaringan HKS, jaringan dari empat sekawan ini membagi rata hasil transaksi setiap transplantasi donor ginjal. Setiap orang yang ingin menjual ginjal dihargai Rp125 juta - Rp130 juta.
“Sebagai contoh, jika penerima donor memberikan kami sebesar Rp200 juta maka kami akan memberikan kepada pendonor sebesar Rp125 juta, dikurangi operasional sekitar Rp10 juta, maka, selisih dari pembayaran tersebut sejumlah Rp65 juta adalah keuntungan kami,” menurut keterangan mereka di persidangan.
Dalam keterangan di persidangan, kelompok ini mencari penjual ginjal melalui grup Facebook. Baik penjual dan pembeli ginjal yang telah menjalankan operasi transplantasi berasal dari beragam daerah seperti Batam, Jogja, Sukabumi, Jombang, Kediri, dan Jakarta.
Semua operasi transplantasi dilakukan di rumah sakit di Jakarta.
Untuk menutupi kejahatannya, kelompok ini juga melibatkan kantor notaris. Gunanya, agar antara penjual dan pembeli sah secara hukum melakukan kesepakatan transplantasi ginjal tanpa ada paksaan, tuntutan di kemudian hari dan motif uang di baliknya.
Masing-masing anggota sindikat perdagangan ginjal ini telah divonis Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, dengan hukuman masing-masing 2,5 tahun penjara.
Ini merupakan gambaran pengungkapan kasus sindikat perdagangan ginjal di Indonesia , belum termasuk jaringan perdagangan ke luar negeri.
Bagaimana prosedur donor organ yang benar?
Keberadaan sindikat perdagangan organ tubuh manusia, khususnya ginjal akan terus ada selama terdapat permintaan. Sejauh ini di Indonesia, tidak ada wadah resmi donor ginjal seperti halnya donor darah.
Wakil Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Mahesa Pranadipa Maikel mengatakan transplantasi organ tubuh manusia diperbolehkan selama mengikuti prosedur dan aturan hukum yang berlaku.
Peraturan tentang syarat transplantasi organ tubuh ini dijelaskan secara rinci melalui Peraturan Pemerintah No.53 tahun 2021 tentang Transplantasi Organ dan Jaringan.
Salah satunya dijelaskan, seluruh operasi transplantasi dilakukan di rumah sakit yang ditunjuk oleh menteri kesehatan.
“Jadi ada tim transplantasi. Jadi tidak boleh dokter kerja sendiri. Kalau kemudian ada tindakan-tindakan pengambilan organ oleh dokter, oleh tenaga kesehatan di fasilitas layanan kesehatan yang tidak jelas, apakah ini sudah terakreditasi atau tidak, itu patut dipertanyakan,” kata dok Mahesa.
Dalam aturan itu juga disebutkan sejumlah syarat bagi orang yang ingin memberikan organ tubuhnya kepada orang lain secara sukarela. Berusia paling muda 18 tahun, membuat pernyataan tertulis menyumbangkan organ tubuh tanpa imbalan, mendapat persetujuan orang terdekat, dan mengetahui risiko pascaoperasi.
Kendati demikian, syarat ini bisa diakali jaringan perdagangan organ tubuh manusia, kata dok Mahesa.
“Ada transaksi di bawah meja yang tidak diketahui sama sekali. Ini yang seharusnya aparat penegak hukum, juga fasilitas pelayanan kesehatan di mana ditetapkan sebagai lokasi transplantasi harus ketat juga melakukan screening pendaftaran itu,” katanya.
Selain itu, bagi tenaga kesehatan yang terungkap ikut jaringan perdagangan organ tubuh ini bisa dikenakan “sanksi berat”.
“Pertama norma etik, disiplin dan hukum. Artinya, tiga-tiganya bisa masuk pelanggaran berat,” tambah dok Mahesa.
Dokter Mahesa juga mengomentari masih ditemukannya penawaran jual-beli ginjal di media sosial yang menurutnya “itu harusnya segera ditindak.”
“Tapi dengan dia melakukan penawaran itu, seharusnya dilakukan pembinaan, yang dilakukan berpotensi melanggar hukum,” katanya.
BBC News Indonesia menghubungi Kepala Bagian Penerangan Umum Mabes Polri, Nurul Azizah. Tapi melalui pesan singkat ia merujuk keterangan polisi pada kasus di Makassar. “Bisa ke kabid humas Sulsel,” katanya.
Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik di Kominfo, Usman Kansong mengklaim pihaknya telah mengoperasikan mesin pengais (crawling) konten negatif, termasuk diskusi jual-beli ginjal di internet.
“Karena di Indonesia, berdasarkan UU Kesehatan, perdagangan organ tubuh itu dilarang,” katanya.
Usman menambahkan, ketika diskusi ini berlangsung di sebuah situs, maka Kominfo bisa langsung memblokirnya. “Tapi kalau dia menawarkan melalui platform, misalnya facebook, itu kita harus ke Facebook disurati… Kalau akun, kita kasih waktu 1x24 jam untuk take down,” katanya.
Wartawan Muhammad Aidil di Sulawesi Selatan berkontribusi dalam artikel ini.